Kamis, 23 Juli 2009

Kontribusi pemikiran terhadap Sertifikasi Guru

Mardiana:
Seharusnya sertifikasi guru menjadi jaminan kedepan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Maka proses sertifikasi melalui pendekatan portofolio menjadi tidak relevan dan sama sekali tidak menjamin adanya perubahan mutu pendidikan. Kebijakan hanya dimaksudkan agar guru dengan segera mendapat perbaikan penghargaan. Memang bisa dipahami (asumsi) guru dengan sejumlah piagam, sertifikat dan sejenisnya (mungkin) adalah guru yang berprestasi dan berdedikasi tetapi logika ini akan gugur manakala guru mendapatkannya dengan cara-cara yang tidak jujur, yang sudah terbukti bahwa keabsahan sebuah dokumen sulit dilacak atau dicari pembuktiannya. Guru memang seharusnya dihargai secara layak, tetapi yang berhak untuk itu hanya guru yang benar-benar kompeten dan profesional. Maka sertifikasi dengan cara penilaian portofolio mengandung banyak kelemahan. Solusi yang patut dipertimbangkan adalah tunjangan profesi diberikan sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang setara dengan golongan kepangkatannya, selanjutnya mekanisme kenaikan pangkatlah yang harus benar-benar mencerminkan peningkatan kemampuan profesinya. Bukankah pemerintah sedang mempersiapkan mekanisme kenaikan pangkat yang baru ? ................



Nurkholis :
Sistem sertifikasi guru di Jawa mungkin sudah berjalan sebagaimana mestinya, tetapi di daerah kawasan Timur masih ada pelaksanaan sertifikasi yang membuat guru kecewa, karena ada guru yang sudah puluhan tahun mengabdi tetapi tidak diikutkan sementara ada guru belum berdinas 10 tahun diikutkan. Sebaiknya guru yang disertifikasi berdasarkan DUK. Selanjutnya saya mengusulkan 1. supaya ada tim monitoring dan evaluasi di setiap wilayah bagi guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi. 2. Agar guru SD yang berkualifikasi D2 diikutkan sertifikasi, karena di Kawasan Indonesia Bagian Timur belum mencapai 10 % Guru SD berpendidikan S1.





Hadyan Nugroho :
saya setuju dengan adanya sertifikasi yang mana merupakan alat ukur seorang guru terhadap keprofesionalnnya tapi mengapa, hal ini hanya terkesan sebagi prasyarat untuk mendapatkan tunjangan yang lebih baik dengan segala persyaratan untuk bisa lolos sertifikasi. hal ini juga berimbas pad GTT yang seharusnya mendapatkan jam ngajar untuk mengasah kemampuan yang dimiliki tapi terpaksa mengalah bahkan mengorbankan jam ngajarnya kepada guru2 yang lolos sertifikasi. dengan hal2 inilah yang akan menyebabkan kebijakan yang tidak akan di percaya oleh kaum2 pelaksana pendidikan. saya hanya berharap kepada pemerintah kebijakan tersebut dilaksanakan secara sungguh sungguh sehingga tidak terkesan sebagai kebijakan yang berbau politik saja. menurut saya lebih baik menganalisa dulu terhadap keadaan yang dibutuhkan oleh masyarakat sebelum mengeluarkan suatu kebijakan. terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar